Mengeluh Adalah Passion
Bapak terduduk di teras rumah, meminum kopi yang
dibuatnya sendiri. Tersenyum tenang memperlihatkan garis halus tanda kulitnya
dimakan waktu. Bapak Suryadi yang sekarang tubuhnya tidak lagi tegap seperti
dahulu. Rambut bapak mulai memutih dan lingkaran bawah matanya, kian membesar
dari masa kemasa.
“Kuliah mas, gimana?” Tanya pria paruh baya saat
anaknya itu duduk di sampingnya. Anak sulungnya yang kini beranjak usia dua
puluh tahun itu menghela nafas panjangnya, seperti membawa beban begitu berat
di pundaknya.
Namanya Jagat Dermaga Prabumi.
Jagat sedikit jenuh, jujur baginya semester lima
ini, membuat sedikit tidak bersemangat. Beban yang dipikul semester lima ini
cukup berat. Tugas-tugas yang silih berdatangan beranak pinak pula, tuntutan
mata kuliah, pemilihan peminatan atau spesialisasi, dan dibayangi oleh
pemilihan tema tugas akhir.
Kalau kata Jagat, ‘Tuhan bersama mahasiswa semester
lima’
Tatapi Jagat, tidak pernah mengeluh sedikit pun
kepada Bapak. Terkadang Bapak selalu mengatakan, “Kenapa? Ada apa? Kuliah mas
bagaimana?”
Jagat hanya tersenyum tipis, Jagat belum siap
mengeluh di depan Bapak.
Lelaki itu menoleh ke arah Bapak, “Alhamdulillah
pak, tugasnya masih gitu-gitu aja, gak ada habis-habisnya.” Jawabnya seraya
terkekeh pelan.
“Capek juga ya pak, tapi Jagat malu untuk mengeluh ke Bapak, malu karna hidup Jagat masih segalanya minta ke Bapak, uang semester,
uang jajan, uang kebutuhan, Bapak masih ambil peran itu semua.”
Bapak tersenyum menggeleng pelan, ditandaskannya
terlebih dahulu kopinya yang mulai kedinginan.
“Itu salah satu tugas Bapak, gak
usah mas malu untuk mengeluh ke Bapak, karena mas anak Bapak.”
Jagat menghambur memeluk Bapak. Dulu saat Jagat
kecil ia selalu merengek meminta Bapak memeluknya terlebih dahulu. Jagat tumbuh
dewasa di bawah pengasuhan Bapak. Bapaklah yang selalu mengajari dari hal-hal
yang kecil, seperti kata-kata ‘maaf, tolong, dan terimakasih’, yang sampai saat ini
sudah melekat didiri Jagat.
“Mengeluh itu gapapa, namanya juga sudah menjadi
passion manusia. Ngeluh sewajarnya, karena titik lemah manusia itu beda-beda.
Hari ini mungkin mas capek, itu tandanya mas manusia”
“Tapi Jagat mau seperti Bapak, enggak pernah ngeluh
di depan Jagat”
Bapak menepuk pundak jagat, “Nanti ada saatnya”
“Saat mas menjadi ayah”
Wejangan dari Bapak memang paling apik, sampai waktu
itu Jagat pernah nyeletuk kepada kawan-kawannya, saat mereka bertanya, “Jagat
cita-cita kamu apa?” Jagat dengan bangga menyuarakan kepada dunia, “Jagat mau
seperti Bapak, hidup bermanfaat bagi semua orang” katanya waktu itu.
Kata Bapak, gapapa mengeluh, kita hanya manusia
sudah menjadi tabiatnya hidup diiringi dengan mengeluh. Gapapa, mengeluh
sesukanya, tetapi esok harus bangkit.
Bapak tokoh favorit Jagat, seperti tokoh film hero
yang banggakan kepada semua orang. Bapak adalah dunia Jagat. Dan di sore hari
itu, diakhiri gelak tawa bahagia dari Bapak dan Jagat. Bahagia keluarga kecil
itu cukup sederhana, sesederhana lengkungan kelopak mata Bapak.
Komentar
Posting Komentar